SEJARAH WAKTU DAN PASKAH
SEJARAH PENENTUAN WAKTU
HARI DAN TANGGAL
Bicara soal waktu, tidak jauh-jauh dari jam, hari, bulan dan tahun.
Namun apa kamu tahu kenapa dalam satu jam ada 60 menit?
Satu hari ada 24 jam?
Satu minggu ada 7 hari?
Dan satu bulan ada yang jumlah harinya 28, 29, 30, atau 31?
Ternyata perwaktuan juga punya perjalanan sejarah yang amat panjang, lho. Penentuan waktu adalah hasil asimilasi pengaruh berbagai bangsa dan zaman.
Bukan di zaman saat ini saja yang merasakan betapa besarnya arti waktu. Manusia zaman dulu membutukan patokan waktu dalam memulai pertanian atau aktivitas kehidupan.
Sekarang, waktu menjadi patokan kehidupan sehari-hari.
Jadwal sekolah, kerja, libur, semuanya berdasarkan waktu.
Awal mula manusia mengenal waktu konon berawal dari penggunaan stone henge di desa Wiltshire, Inggris yang telah ada sejak 5000 tahun lalu.
Para ahli sejarah memperkirakan batu yang disusun vertikal itu menjadi patokan menentukan waktu pada zaman itu.
Namun, untuk pembagian hari dalam 24 jam, awalnya berasal dari bangsa Mesir kuno.
Masyarakat Mesir kuno menentukan jumlah jam berdasarkan penampakan 12 bintang pada malam hari. Bagi mereka, bila bintang tertentu memperlihatkan diri, maka mereka menganggap bahwa satu jam telah berlalu. Walau pun pada siang hari bintang-bintang tidak terlihat, orang-orang Mesir kuno sepakat membagi siang hari tetap menjadi 12 bagian. Karena itu, jumlah jam dalam satu hari ada 24.
Nah, untuk pembagian waktu dalam satu jam menjadi 60 menit konon dipengaruhi oleh kebesaran peradaban tinggi bangsa Babilonia.
Mereka memperhitungkan angka selalu dalam 60. Karena itu, bilangan 60 digunakan untuk menyatakan jumlah waktu, seperti sejam 60 menit, semenit 60 detik. Sistem perhitungan seperti ini juga dikenal dengan sexagesimal.
Alasan lain karena angka ini termasuk bilangan terkecil yang bisa dibagi oleh enam.
Angka pertama yaitu: 1,2,3,4,5,6.
Jadi dengan mudah kita bisa terbayang:
1/2 jam = 30 menit,
1/3 jam = 20 menit,
1/4 jam = 15 menit.
Bayangkan kalau satu jam = 100 menit, berarti 1/3 jam = 33,333 menit. Repot bukan?
60 adalah bilangan yang angka pembaginya banyak, yaitu 1,2,3,4,5,6,10,12,15,20,30,60.
Pembagian Satu Minggu dalam 7 Hari.
Ada suatu waktu dalam sejarah awal manusia ketika hari-hari tidak diberi nama. Alasannya sangat sederhana.
Manusia tidak menemukan minggu.
Pada waktu itu, satu-satunya pembagian waktu adalah BULAN, dan ada terlalu banyak hari dalam satu bulan untuk diberi nama sendiri-sendiri.
Tetapi ketika manusia mulai membangun kota-kota, mereka ingin mempunyai hari istimewa untuk berdagang, suatu hari pasar.
Kadang hari pasar ini ditetapkan setiap hari kesepuluh, terkadang setiap hari ketujuh atau setiap hari kelima.
Nah, orang-orang Babilonia memutuskan hari pasar harus jatuh pada hari ketujuh. Pada hari ini mereka tidak bekerja, tetapi bertemu untuk berdagang dan mengadakan upacara-upacara keagamaan.
Bangsa Yahudi mengikuti contoh mereka, tetapi mengkhususkan hari ketujuh untuk keperluan keagamaan.
Dengan demikian hari Minggu pun muncul. Hari itu adalah hari antara hari-hari pasar. Bangsa Yahudi memberi nama untuk masing-masing hari dari ketujuh hari itu, beracuan pada hari Sabat yang berarti "Dia berhenti" (hari Sabtu).
Misalnya, hari Rabu dinamakan hari keempat (empat hari setelah hari Sabtu).
Ketika Bangsa Mesir menggunakan minggu yang terdiri dari tujuh hari.
Mereka kemudian menamakan hari-鈥╤ari itu menurut nama kelima planet, Matahari dan Bulan.
Bangsa Romawi juga menggunakan nama-nama Mesir untuk hari-hari mereka dalam seminggu:
hari Matahari,
hari Bulan,
hari planet Mars,
hari planet Merkurius,
hari planet Yupiter,
hari planet Venus, dan
hari planet Saturnus.
Namun, nama-nama hari yang digunakan saat ini bukanlah berasal dari penamaan Bangsa Romawi melainkan Bangsa Anglo Saxon.
Mereka menamai sebagian besar hari menurut nama dewa-dewa, kurang lebih sama dengan dewa Bangsa Romawi. Seperti
hari Matahari menjadi Sunnandaeg atau Sunday (Minggu),
hari Bulan dinamakan Monandaeg, atau Monday (Senin),
hari Mars menjadi hari Tiw, yaitu dewa perang mereka. Ini menjadi Tiwesdaeg, atau Tuesday (Selasa).
Nama Dewa Woden diberikan menjadi Wednesday (Rabu).
Hari Romawi Yupiter, dewa guntur, menjadi hari guntur Dewa Thor, dan ini menjadi Thursday (Kamis).
Hari berikutnya dinamakan Frigg, istri Dewa Odin, dan oleh karena itu kita mempunyai Friday (Jumat).
Hari Saturnus menjadi Saeterbsdaeg, terjemahan dari bahasa Romawi, dan kemudian menjadi Saturday (Sabtu).
Di Indonesia sendiri, selain nama Minggu dan Sabtu, Senin sampai Jumat berasal dari bahasa Arab.
Kata Senin dari Isnain berarti dua,
kata Selasa berarti tsalasah yang artinya tiga.
Kata Rabu berarti ar rab鈥檃h artinya empat.
Kata Kamis atau khamis berarti lima dan
kata Jumat diambil dari Jumu鈥檃h yang berarti ramai.
Sedangkan Minggu, dalam bahasa Melayu lama, kata ini dieja sebagai Dominggu.
Baru sekitar akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, kata ini dieja sebagai Minggu. Sedang Sabtu konon diambil dari bahasa Ibrani, sabbat yang berarti "Dia berhenti".
Satu hari biasanya dihitung sebagai jarak antara terbitnya Matahari dan terbenamnya Matahari.
Bangasa Romawi menghitungnya dari tengah malam sampai tengah malam, dan kebanyakan bangsa-bangsa modern menggunakan metode ini.
Sejarah Pembagian Hari dalam Setahun.
Sekarang bagaimana dengan tahun?
Satu tahun ada 52 minggu.
Kalender yang banyak digunakan saat ini adalah kalender dengan sistem gregorianis.
Sistem kalender menurut asal terdapat 4 jenis.
Ada yang berdasarkan perhitungan jalannya Matahari, misalnya kalender Gregorianis.
Ada yang berdasarkan perjalanan Bulan, misalnya kalender Islam.
Berdasarkan Matahari dan Bulan, misalnya kalender Yahudi dan kalender China. Sedang yang berdasarkan sistem lain, misalnya siklus Tzolkin dari kalender Maya, kalender Pawukon atau Wuku di Bali, dan kalender Wetonan.
Namun, Sistem Gregorianis yang berdasar pada pergerakan Matahari telah menggantikan kalender Yulianis dan Romawi.
Kalender Romawi yang hanya terdiri dari 10 bulan dan bulan pertamanya adalah bulan Maret, telah gagal menetapkan musim.
Di mana musim dingin terjadi pada bulan musim gugur.
Karena itu pada tahun 46 SM terjadi kekacauan waktu yang membuat sistem penanggalan ini direformasi oleh Julius Caesar dan berganti nama kalender Yulianis dan dipakai hampir 1600 tahun.
Kalender Yulianis lalu akhirnya digantikan dengan Kalender Gregorianis yang berlaku sampai sekarang, karena tahun Matahari lebih pendek 11 menit dan 14 detik setiap tahunnya.
Hal ini menyebabkan dalam waktu 128 tahun, satu tahun menjadi berkurang satu hari dan tahun 1580 setelah hampir 1600 tahun digunakan, menjadi berkurang 10 hari.
Untuk itu, perhitungan hari Paskah menjadi masalah.
Singkat kata Paus Gregor XIII akhirnya memberlakukan Kalender Gregorianis dengan menambahkan setiap 4 tahun sekali, 1 hari di bulan Februari, yang kita kenal sekarang dengan tahun Kabisat.
Paskah dan Revolusi Kalender Masehi.
Dalam dunia Kristen Natal selalu dirayakan setiap tanggal 25 Desember tanpa membedakan hari, perayaan PASKAH SELALU JATUH PADA HARI MINGGU dengan tanggal yang berbeda setiap tahun.
Meski demikian, Paskah selalu jatuh antara 22 Maret dan 25 April. Kenapa ya?.
Penentuan Natal mengacu pada sistem penanggalan Matahari (solar).
Acuannya adalah waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari satu putaran penuh.
Adapun Paskah ditentukan berdasar sistem penanggalan Bulan-Matahari (luni-solar), karena memang paskah adalah perayaan Orang Israel memperingati keluarnya mereka dari perbudakan Mesir dimana mereka mengunakan paduan sistem penanggalan Matahari dan penanggalan Bulan yakni Kalender Ibrani.
Claus Tøndering dalam Frequently Asked Question about Calendars (2005) menyatakan, secara sederhana, perayaan Paskah orang Kristen jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama, setelah Matahari melintasi titik musim semi (vernal equinox).
Jika bulan purnama terjadi pada hari Minggu, Paskah jatuh pada Minggu berikut.
Ketentuan yang diambil dari keputusan Konsili Nicea tahun 325 Masehi itu dimaksudkan agar perayaan Paskah Easter yang merupakan peringatan kebangkitan Yesus dilaksanakan pada hari dan musim yang sama dengan saat terjadinya peristiwa itu sekitar tahun 31 Masehi.
Saat itu, kalender Masehi yang digunakan mirip saat ini. Kalender ini digunakan sejak tahun 45 Sebelum Masehi di masa Julius Caesar sehingga disebut kalender Julian. Hal yang membedakan adalah panjang satu tahun ketika itu didefinisikan sebanyak 365,25 hari.
Bulan purnama yang dijadikan acuan penentuan Paskah adalah bulan purnama Paskah (Paschal full moon), bukan bulan purnama dalam perhitungan astronomi modern. ”Bulan purnama Paskah jatuh pada hari terjadinya bulan purnama astronomi,” kata peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Emmanuel Sungging Mumpuni, Selasa (26/3/2013).
Dalam astronomi modern, bulan purnama merupakan satu waktu terjadinya kesegarisan antara Bulan-Bumi-Matahari. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat menyebut, bulan purnama astronomi pada Maret 2013 terjadi pada Rabu (27/3/2013) pukul 09.27 waktu universal (16.27 WIB).
Sesaat sebelum dan sesudahnya, Bulan belum atau sudah melewati fase purnama walau dalam pandangan manusia Bulan terlihat purnama.
Waktu Matahari melintasi titik musim semi berdasar Konsili Nicea ditetapkan pada 21 Maret setiap tahun. Dalam astronomi modern, waktu Matahari melintasi titik musim semi bervariasi antara 19-21 Maret.
Untuk jaman sekarang bisa dapat datanya di timeanddate.com
Menurut Sungging, penentuan bulan purnama astronomi dan waktu Matahari melintasi titik musim semi hingga orde menit seperti saat ini perlu kemampuan memahami orbit Bulan, pergerakan Bumi, hingga gangguan benda-benda langit lain. Kemampuan ini belum dimiliki para astronom abad IV.
Namun, jika perhitungan modern dijadikan acuan, akan muncul kerumitan baru soal titik acuan untuk menentukan waktu Paskah secara global akibat perbedaan waktu antarnegara.
Bulan purnama astronomi hanya terjadi pada satu waktu tertentu sehingga hanya daerah tertentu di Bumi yang bisa mengamati.
Pada abad XVI baru disadari perayaan Paskah tidak tepat sesuai ketentuan awal.
Menurut LE Doggett dalam Calendars, yang mengutip P Kenneth Seidelmann dalam Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac, mundurnya perayaan Paskah terjadi karena titik musim semi yang dijadikan acuan terjadi lebih cepat 10 hari.
Artinya, saat itu tanda Matahari mencapai titik musim semi sudah terjadi, tapi waktu di kalendernya belum.
Titik musim semi merupakan penanda datangnya musim semi di belahan Bumi utara dan musim gugur di belahan Bumi selatan.
Saat ini, Matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Akibatnya, semua tempat di Bumi memiliki panjang waktu siang dan malam yang sama.
Dikoreksi
Untuk mengembalikan titik musim semi pada 21 Maret, Paus Gregorius XIII meniadakan tanggal 5 Oktober-14 Oktober 1582.
Setelah tanggal 4 Oktober langsung diikuti tanggal 15 Oktober. ”Hanya mengubah angka, tidak mengubah harinya,” kata dosen sistem kalender Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto.
Selain itu, panjang satu tahun dikoreksi dari 365,25 hari menjadi 365,2425 hari.
Ini dilakukan karena belakangan diketahui panjang satu tahun Matahari 365,2422 hari. Kelebihan 0,0078 hari baru terasa dalam jangka panjang.
Setiap 128 tahun, jumlah hari kelebihan satu hari.
Ketentuan tahun kabisat pun diubah. Jika semula tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat, sistem yang baru ditambah dengan ketentuan tahun yang habis dibagi 400 untuk tahun kelipatan 100.
Untuk mengenang jasa Paus Gregorius XIII, kalender sistem baru ini dinamai kalender Gregorian.
Kalender ini digunakan di seluruh dunia hingga kini.
Namun, sistem ini tidak diadopsi langsung oleh semua negara. Bahkan, Gereja Ortodoks di sejumlah negara tetap menggunakan sistem kalender Julian. Alhasil, waktu Paskah Gereja Ortodoks umumnya lebih lambat dibandingkan dengan Gereja Katolik atau Kristen Protestan.
Jika mengacu pada kalender Julian, Paskah Gereja Ortodoks jatuh antara 22 Maret-25 April.
Namun jika dikonversi dalam kalender Gregorian, Paskah Gereja Ortodoks jatuh pada tanggal 3 April-10 Mei.
Semoga bermanfaat.
....
Komentar
Posting Komentar